Wednesday, November 18, 2015

Koboi Kampus (REVIEW LIRIK THE PANAS DALAM)


Cipt: The Panas Dalam
Lalu kapan saya akan di Wisuda
Adik kelas sudah lebih dulu
Rasa cemas merasa masih begini
Temen baik sudah di DO
Orang tua di desa menunggu
Calon istri gelisah menanti

Orang desa sudah banyak menganggap
Aku jaya di negeri orang
Tolonglah diriku …
Koboi kampus yang banyak kasus
Hatiku cemas …
Gelisah sepanjang waktu-waktuku
Kalau bisa bantulah aku
Luluskan apa adanya
Bagaimna? begitu saja
Nanti kaya bapak dibagi
Tolonglah diriku …
Koboi kampus yang banyak kasus
Hatiku cemas …
Gelisah sepanjang hari-hariku
Maafkan aku ayah …
REVIEW By Dedi S.
Memang lirik yang disuarakan teman-teman The Panas Dalam adalah sebuah kisah hidup yang nyata bagi segelintir mahasiswa yang belum lulus kuliah. Meskipun lamanya waktu belajar di kampus, tapi itu tidak menjamin mahasiswa untuk lulus. Banyak alasan yang di hadapai oleh mahasiswa seperti tidak sanggup membayar iuran semester, tanggung mata kuliah tidak dapat diambil karena IPK tidak mencukupi untuk mengambil mata kuliah lainnya, putus cinta lalu stress, nilai tidak kunjung keluar dari Dosen, terlalu sibuk dengan urusan organisasi luar dan dalam kampus dan sejuta alasan yang membuat mahasiswa terpaksa menjadi “koboi kampus” atau mahasiswa abadi. Contoh kasus yang dialami oleh saya pribadi, saya adalah lulusan SMU angkatan 2002 tapi hingga kini 2008 belum lulus atau di Wisuda. Dengan alasan saya pindah-pindah kampus dari kampus satu ke kampus lainnya. Alasan utamanya adalah merasa pelajaran yang saya terima di bangku perkuliahan itu tidak ada bedanya dengan pelajaran TK atau SD. Merasa tidak puas lalu pindah kekampus lain walau harus rela mengorbankan beasiswa, demi idealisme pendidikan yang bermutu apa pun akan saya lakukan. Karena saya anggap pendidikan di perguruan tinggi adalah jenis pembelajaran yang sudah masuk taraf yang tertinggi, tapi jawaban itu salah! Akhirnya saya masuk kedalam sebuah situasi dimana harus menyerah pada keadaan, yaitu “setinggi apa pun ilmu seseorang, tidak akan dihargai dimata umum jika tidak memilki gelar apa pun itu serjana atau prof” begitu kata ayahku setiap kali diskusi dengannya. Ditengah perjalanan yang panjang selama empat tahun lika-liku kehidupan sebagai mahasiswa saya tempuh dengan susah payah, harus menahan lapar, nahan jajan, ngirit duit kalo pacaran, ngumpulin uang untuk beli baju baru, ngutang kesana-kemari. Rasa cemas selalu menghantui pada malam hari, yaitu sebuah pertanyaan, “apa yang akan saya lakukan setelah lulus nanti? Apakah saya akan bekerja? Atau nganggur?” mengelayut pertanyaan itu dalam fikiran ini. Disamping itu selain masalah hidup yang semakin sulit permasalahan akademis pun tidak ketinggalan memberikan sumbangan penyiksaaan dengan segala macam peraturannya, satu, dua tiga, empat dan seterusnya begitulah masalah dating dari waktu-kewaktu hingga saat ini sulit untuk saya menghilangkan kecemasan dan kegelisan sepanjang hari tentang lulus kuliah? Bagaimana masa depan saya? Cari modal buat nikah dan lain sebagainya?. Sementara tidak terasa umur semakin tua dan sebentar lagi akan berkepala tiga, defresi ini tidak berhenti setiap waktu menyiksa kehidupan ini. Kapan saya akan menyelesaikan kuliah ini dan kapan saya akan sukses dan menjadi orang yang berguna? Pertanyaan itu selalu tidak terjawab karena pada kenyataannya saya masih didalam lingkaran mahasiswa dengan segala macam masalahnya. Banyak teman saya mengatakan “semuanya dapat di selesaikan dengan uang” tapi peda kenyataannya saya masih meminta bantuan orang tua untuk membiayayai kehidupan sehari-hari dan biaya lainnya. Bagaimana nanti? Mungkin bagi sebagian berangkat kuliah adalah sebuah langkah pasti untuk menduduki jabatan yang sudah tersedia, calon pengusaha, manager perusahaan, mengurus yayasan, menjadi guru dan sebagainya. Tapi siapalah saya? Tidak ada saudara dan kawan yang dapat diandalkan untuk masa depan. Saya harus merangkak sendiri menggapai semua impian. Rasa malu dan gelisah selalu datang ketika akan pulang kampung. Perasaan ini timbul karena saya merasa “saya kuliah sudah lama” orang lain, seperti tetangga rumah di kampung sudah menikah, punya rumah, tanah dan usahanya sukses. Rasa sesal datang dan pertanyaanpun muncul, kenapa tidak dari dulu saya pergi kekota untuk berjuaalan dan bekerja pada orang lain? Mungkin saat ini saya sedang berada dirumah beserta istri dan anak. Tapi kok malah kuliah? Bukannya kuliah itu menghambur-hamburkan uang. Karena semua orang menggap orang yang kuliah adalah orang mampuh dan berkecukupan. Tapi nyatanya saya adalah orang yang merasa tidak mampu dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit.
Saya mulai berfikir lagi, munkinkah hidup ini hanyalah sebuah perjalanan proses yang panjang, berproses dan terus berproses. Tapi pada kenyataannya penampakan sebuah hasil dari proses adalah hal penting pula dalam mengukur sebuah prestasi. Semakin bingung pertanyaan yang mengendap dalam pikiran ini. Bagaimana ini, dan itu?, bagaimana hari ini dan esok? Sehari-hari saya sering terperangkap dengan kegiatan yang sama dengan hari-hari sebelumnya, yaitu menunda dan menunda, dengan alasan totalitas menyelesaikan masalah, padahal pada kenyataannya dikerjakan atau tidak masalah itu terus datang menghadang. Saat ini saya sadar manusia sering terperangkap dengan keadaan hari ini, yang ia rasakan saat ini, padahal esok hari lain lagi ceritanya. Begitu dan terus begitu apa yang dialami manusia yaitu, menerka, berproses, lalu berharap mendapatkan hasil yang optimal.

0 komentar:

Post a Comment

terimakasih telah membaca artikel ini, kami harapkan saran dan kritiknya karena pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar.